Dosenku Malang, Aku teramat Malang (part I)
Senin, 19 September 2011
0
komentar
Edukasi bila
diceritakan takan cukup ribuan Giga untuk menyimpanya. Polemik, Masalah,
kinerja dosen,Tugas, SPP, Sumbangan, cukup membuatku ‘eneg’, jenuh dan jengah.
Semua berawal dari cita-citaku, ambisiku, kemauanku, kekeraskepalaanku.
Cita-cita yang telah menjerumuskanku pada prosedur-prosedur yang unimportant
and unuseful. Aku benci dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan diatas
kertas, perjanjian-perjanjian yang tak konsekuen.
Terhitung
akhir September Aku resmi menjadi tingkatan tertinggi dari semua pelajar, Yaitu
“Mahasiswa”, Ku korbanku tabunganku, jerih payahku selama 11 bulan dipedalaman
Sumatra, ku kumpulkan koin demi koin penghidupan, bukan otak yang kupakai kala
itu, tapi otot, kaki kulangkahkan, tanganku ayunkan untuk menjadi buruh pembuka
lahan baru untuk perkebunan, melintasi rawa, belantara Sumatra, kutebangi
pohon2 hutan lindung disana.
Ragaku
memang disana kawan, tapi jiwa ini pikiran ini masih berada di pulau jawa,
ketika ku pegang parang untuk menebangi pohon, maka otakku dengan sangat cepat
merubahnya sehingga yang ku pikirkan aku sedang berada diruangan kelas untuk
mengikuti kuliah. Segenap jiwaku, seluruh ragaku kutumpahkan hanya untuk
mencicipi bangku yang katanya bisa membuat orang menjadi luar biasa, bangku
kuliah.
Dengan kemauan
kuat dan dengan dukungan dari kakak tercintaku, akhirnya aku masuk dalam daftar
mahasiswa Teknik Informatika, ini adalah pilihan kedua saat itu, dalam opsi
yang pertama, aku sangat menginginkan untuk mengarungi dunia, menjelajahi bumi
ini, dank ala itu aku sangat teropsesi untuk menguasai sastra inggris.
Doa yang
kupanjarkan setiap kepala ini bersujud kepada Illahi, ternyata membuahkan
sejuta jalan untuk menjadi seorang mahasiswa, akhirnya ku perolah perkerjaan
sebagai Kuli Warnet. Ku asah semua kemampuanku, kucurahkan butir-butir ilmu
yang kudapat di SMA, kutuangkan dalam manajemen warnet dengan tujuan agar ku
bisa melakukan yang terbaik untuk warnetku.
Semester
I berlalu, kini yang kuhadapi adalah semester II, semester II pun tak kalah
hebohnya. Dengen sederatan syarat untuk
mengkitui UAS, KRS,MID, maupun syarat yang bertele-tele dan memusingkan
kepalaku, pusing bukan karena tugas, bukan juga karena tak bisa mengikuti
kuliah, tapi pusing karena DUWIT kawand. Iya the bih problem in my study is
money. Penghasilanku hanya 125 MB tapi pengeluaraanku 1 Giga kawand, tentunya
ini menimbulkan disconnected dalam jaringan kuliahku. Ini yang dinamakan dengan
ketidakbahagiaan dalam hidup. Dengan memitnya bandwith dari orang tua, saudara
akhirnya, bisa connected, dan akhirnya semester I kuucapkan Alhamdulilah dengan IP 3.29.
Jelek dan
sangat jelek menurutku, satu semester berjalan, dan Cuma diajari mewarnai, buat
itung2an di Delphi kenapa dapet B, dalam hati sempat berfikir, oh ternyata aku
masih kurang pinter mewarnai, maklum saja kawand, dulu aku gak sekolah TK
jadinya Delphi dapet B,batinku ICA ( Ihhhh cape deh…..) gokil sangat menurutku………
Dari Sumatra
kakak tercintaku mengirimkan badnwitch, dan receiverku aku setting mejadi
super, tujuanya agar penerimaanya kuat. Perkiraanku semakin kacau kala itu
teman, tak ada dalam dikiranku, sungguh sangat mengherankan dan ini adalah
kekejaman dan tindak yang tidak berperikemanuasiaan (agak lebay sithik), ketiku
ku gak bisa membayarkan apa yang
seharusnya aku bayar, maka ada sebuah pengumuman yang semakin lama membuatku
tercekik, yang semakin menyulitkan, menurutku ini bukan penyelesaian yang baik,
yaitu tentang denda keterlambatan sebesar *%, setelah berkelut dengan masalah
ujian akhir yang shock kenapa tak dapat mendapatkan nilai A padahal cumin ujian
mewarnai pada Delphi, kini ku harus mencari kesana kesini untuk membayarkan
denda, sebuah lagu dari bang Haji yang paling tepat bagi aku yaitu “yang kaya
makin kaya, yang miskin semakin miskin”,
Apakah anda
piker ini sakah dari pihak kampus kawand? Saya jawab tidak, karena di awalah
surat perjanjian sudah ku tanda tangani, tepatnya orang tuaku sudah tanda
tangan, untuk mengikuti semua aturan yang ada, dan mengikuti procedural-prosedural
yang ada, dan kesalahanku saat itu adalah kenapa saya tidak menayakan apa
point-point peraturan tersebut, dan pada kahirnya aku terjebak dalam dunia
pendidikan tepatnya bisnis dalam bidang pendidikan. Kubuang jauh-jauh tentang
denda itu kawand, dan saya piker ini bukan masalah besarnya denda tapi masalah
penyelesaian yang tidak melibatkan hati nurani, ini menggambarkan bagaimana uang
telah mengendalikan semua aspek kehidupan, telah menyusup dalam pendidikan,
dunia yang sebenernya harus diperhatikan dan dinomersatukan karena peranan yang
sangat penting bagi kelangsungan negeri ini, tapi ketika sudah dimasuki bisnis
yang terjadi alaha seperti ini kawand, dimana seorang warga Negara yang
menginginkan pendidikan harus mengikuti
prosdural-prosedural yang berbelit-belit, terutama masalah DUWIT, tingginya
biaya kuliah, yah pendidikan memang mahal kawand. Tapi harapan kita semua, dengan biaya pendidikan yang tinggi seharusnya
diserai dengan mutu pendidikan yang tinggi. Karena banyak dari kita yang
menginginkan kuliah tapi harus berhadapan dengan kerasnya hidup, sebelum
memutuskan untuk kuliah banyak diantara kita yang harus bekerja keras, menahan
kelopak mata agar tidak terlelap, harus bermain dengan waktu, pagi, siang malan
dicurahkan, tenaga dikuras, kemapuan diforsir, semua itu dilakukan untuk
meningkatkan intelektual demi kemajuan bangsa ini, sebagai lembaga pendidikan
diharuskan merespon baik kemauan itu, liatlah didesa-desa terpencil, banyak
diantara mereka yang memiliki otak yang brilian tapi tak ada faslitas untuk
mengembangkanya, banyak diantara mereka yang sudah mempunyai fasilitas tapi
malah digunakan semauanya.
Sore itu,
tepatnya hari rabu kelas kebetulan sampai malam, dan jam terkahir akan segera
dimulai, sang dosenpun menuliskan tugas di whiteboard kelas, aku kala itu
tertunduk di barisan bangku paling depan, tertunuduk bukan karena tugas yang
diberikan tapi mendapatkan kabar ayahku batu ginjalnya kumat dan dirumah sedang
terjadi siding keluarga untuk dioperasi ataukah di bwa ke obat tradisonal. Ketika
teman-temanku mulai menghela nafas, karena tugas yang mereka bilang tak sesuai
dengan mata kuliah, makapikiranku saat itu hanya tertuju pada seorang ayah,
yang sangat mencintai aku, ketika rekan kuliah-kuliahku mengeluh karena tugas
yang mereka bilang susah, sensor telingaku merubahnya menjadi frekuensi
rtertentu yang itu adalah suara rintihan ayahku yang kini terkapar dirumah
sakit, gejolak yang membuatku sedikit terkuras secara emosi, secara psikis amplitude
konsentrasiku sudah pada level bawah, dan jam pun selesai, aku langsung pulang
dan menemui ayahkau disana, ……….. ( to be continued)
Baca Selengkapnya ....