[Cerita Hikmah] Mengapa Kita Tak Punya Mobil

Posted by Sepercik Tinta Minggu, 03 Februari 2013 0 komentar
Tampang bingung. Itulah gambaran yang bisa dilukiskan di wajah seorang bocah 6 tahun, saat melihat lalu-lalangnya kendaraan di jalan. Bocah itu seakan tidak memperdulikan hilir mudik orang-orang yang melaluinya bahkan ada beberapa orang yang hampir menendangnya. Dia pun seakan tidak senang saat beberapa orang yang lewat memasukan uang receh ke dalam kaleng yang sengaja di simpan di depannya.
“Sudah dapat berapa Ujang?” sapa seorang wanita umur 40 tahunan yang mengagetkan si Ujang. Si Ujang menengok wanita yang nampak lebih tua dari umur sebenarnya. Wanita itu tiada lain adalah ibunya yang sama-sama membuka praktek mengemis sekitar 100-200 meter dari tempat si Ujang mengemis. “Nggak tahu Mak, hitung aja sendiri,” jawab si Ujang sambil melihat kaleng yang ada di depannya. Tanpa menunggu, wanita yang dipanggil Emak itu mengambil kaleng yang ada di depan si Ujang. Kemudian isi kaleng tersebut ditumpahkan ke atas kertas koran yang menjadi alas mereka duduk. “Lumayan Ujang, bisa membeli nasi malam ini. Sisanya buat membeli kupat tahu besok pagi.” Kata si Emak sambil tersenyum lebar, karena rezeki malam itu lebih banyak dari hari-hari biasanya. “Mak…” kata si Ujang tanpa menghiraukan ucapan ibunya, “koq orang lain punya mobil? Kenapa Emak nggak punya?” Tanya si Ujang sambil menatap wajah ibunya. “Ah, si Ujang mah, aya-aya wae, boro-boro punya mobil, saung aja kita mah nggak punya.” kata si Emak sambil tersenyum. Si Emak kemudian membungkus uang yang telah dipisahkannya untuk besok dengan sapu tangan yang sudah lusuh dan dekil. “Iya, tapi kenapa Mak?” Rupanya jawaban si Emak tidak memuaskan si Ujang. “Ujang …. Ujang….” kata si Emak sambil tersenyum. “Kita tidak punya uang banyak untuk membeli mobil.” kata si Emak mencoba menjelaskan. Tetapi nampaknya si Ujang belum puas juga, “Kenapa kita tidak punya uang banyak Mak?” tanyanya sambil melirik si Emak. “Kita kan cuma pengemis, kalau orang lain mah kerja kantoran jadi uangnya banyak.” kata si Emak yang nampak akan beranjak. Seperti biasa sehabis matahari tenggelam si Emak membeli nasi dengan porsi agak banyak dengan 3 potong tempe atau tahu. Satu potong untuk si Emak sedangkan 2 potong untuk si Ujang anak semata wayangnya. Sekembali membeli nasi, si Ujang masih menyimpan pertanyaan. Raut wajah si Ujang masih nampak bingung. “Ada apa lagi Ujang?” kata si Emak sambil menyeka keringat di keningnya. “Kenapa Emak nggak kerja kantoran saja?” tanya si Ujang dengan polosnya. “Siapa yang mau ngasih kerjaan ke Emak, Emak mah orang bodoh, tidak sekolah.” Jawab si Emak sambil membuka bungkusan yang dibawanya. “Udah …, sekarang makan dulu mumpung masih hangat!” Kata si Emak sambil mendekatkan nasi ke depan si Ujang. Si Ujang yang memang sudah lapar langsung menyantap makanan yang ada di depannya. “Kenapa Emak nggak sekolah?” tanya si Ujang sambil mengunyah nasi plus tempe. “Orang tua Emak nggak punya uang, jadi Emak nggak bisa sekolah.” “Ujang bakal sekolah nggak?” kata si Ujang sambil menatap mata si Emak penuh harap. Emak agak bingung menjawab pertanyaan si Ujang. Lamunan Emak menerawang mengingat kembali mendiang suaminya, yang telah mendahuluinya. Mata si Emak mulai berkaca-kaca. Karena gelapnya malam, si Ujang tidak melihat butiran bening yang mulai menuruni pipi wanita yang dipanggil Emak tersebut. Karena tak kunjung dijawab, si Ujang bertanya lagi “Kalau Ujang nggak sekolah, nanti kayak Emak lagi dong. Iya kan Mak?” Pertanyaan Ujang makin menyesakan dada si Emak. Siapa yang ingin punya anak menjadi pengemis, tetapi si Emak bingung harus berbuat apa. Si Emak cuma melanjutkan menghabiskan nasi sambil menahan tangisnya. Akhirnya si Ujang pun diam sambil mengunyah nasi yang tinggal sedikit lagi. Deru mesin mobil menemani dua insan di pinggir jalan yang sedang menikmati rezeki Allah SWT yang mereka dapatkan. Diterangi lampu jalan mereka pun mulai berbenah untuk merebahkan diri. Di kepala si Ujang masih penuh tanda tanya, mau jadi apa dia kelak. Apakah akan sama seperti Emaknya saat ini? Yah...itulah realita yg sebenarnya akrab dengan keseharian kita. Begitu banyak moment2 kehidupan spt itu di sekitar kita. Tinggal kita yang seharusnya lebih peka, apakah kita bisa menangkap kegundahan2 begitu banyak Ujang2 di luar sana. Sanggupkah kita menjadi pelita bagi kehidupan mereka ? Semoga........ Sumber : Facebook

Baca Selengkapnya ....

Tantangan

Posted by Sepercik Tinta 0 komentar

Alkisah, sebuah desa di atas bukit dilanda musim kering enam tahun beturut-turut. Suasana desa terasa sedih, putus asa, dan merana.
Di tepi desa, tinggal seorang lelaki setengah baya yang punya tiga anak pria dewasa. Namun semuanya pemalas, tak pernah mau mencari pekerjaan. Alasannya, di mana-mana susah, karena musim kering itu. Semua nasihat sang ayah hilang begitu saja. Mereka lebih suka melamun dan tidur.

Di belakang bukit yang mengelilingi desa itu, ada sebuah desa sangat subur.

Di tengahnya mengalir sungai yang tak pernah kering. Andai kata ada yang mampu memindahkan gunung, dan mengubah aliran sungai, desa itu bakal memiliki air cukup, dan tak akan lagi kekeringan. Namun di desa itu tak ada seorang pun yang berani berpikir untuk memindahkan sang gunung. Sesuatu yang tak mungkin.

Uniknya, lelaki setengah baya yang tinggal di tepi desa tadi akhirnya terpanggil untuk menyelesaikan tantangan yang tidak mungkin itu. Suatu hari, setelah fajar, sang lelaki membulatkan tekadnya. Ia mengambil pacul dan mulai berjalan ke gunung. Ia bekerja dari subuh hingga matahari tenggelam, tak kenal lelah.

Mencangkul dan mencangkul.

Setelah seminggu ia bekerja, akhirnya anak-anaknya pun mulai memperhatikan ulah sang ayah. Ketika diceritakan bahwa sang ayah ingin memindahkan gunung, ketiga anaknya terbahak-bahak. Mereka menganggap ayahnya gila, dan mau melakukan hal yang tak mungkin. Sang ayah diam saja. Ia terus melanjutkan pekerjaannya dari hari ke hari. Sebulan kemudian, cerita ini menyebar ke seluruh desa. Sang lelaki itu kini malah dijuluki gila oleh semua warga desa.

Ketiga anak lelaki itu lama-lama malu dengan olokan warga desa. Hingga suatu hari mereka memutuskan membantu ayahnya. Sejak itu, keempat lelaki itu selalu berangkat subuh, dan mencangkul gunung hingga matahari tenggelam. Setelah beberapa bulan mereka bekerja, warga desa mulai melihat sebuah lubang besar di gunung. Tak lama kemudian, seluruh desa ikut bergabung. Setahun lebih, gunung itu akhirnya bolong. Air mengalir lewat terowongan. Desa itu tak pernah lagi garing dan gersang.

Pada akhir 1980-an, pendiri Hero, M.S. Kurnia (almarhum), mengingatkan kembali akan cerita ini. Beliau memberi nasehat, "Nothing is impossible." Semuanya mungkin. Jangan pernah menganggap remeh sebuah cita-cita atau angan-angan. Rahasianya, bagaimana mengubah cita-cita itu menjadi tantangan nyata. Kalau sudah menjadi tantangan, pasti bisa dikerjakan, pasti memberikan hasil.

Kredo itu saya pegang teguh saat ini. Bahwa cita-cita dan angan-angan hanya akan menjadi lamunan kosong kalau tidak kita wujudkan menjadi tantangan.

Tantangan adalah sebuah "road map", peta yang melukiskan hal-hal yang harus kita kerjakan untuk mencapai sebuah prestasi.

Cita-cita dan angan-angan adalah roh. Tantangan adalah tubuh tempat roh bersemayam. Tanpa tantangan, roh itu hanya akan melayang-layang dan kehilangan wujudnya.

Kalau Anda punya visi, cita-cita, dan angan-angan, jangan lupa menerjemahkannya menjadi tantangan yang bisa memotivasi anda dan juga keikutsertaan staf Anda semua.

Kafi Kurnia - Praktisi Bisnis

sumber: Cetivasi Net

Baca Selengkapnya ....
Original design by Bamz | Copyright of Blog Pintar.